Kurangnya Kesadaran Masyarakat terhadap Kesehatan Gigi dan Mulut
Sebagian besar masyarakat masih mengabaikan kondisi kesehatan gigi dan
mulutnya. Padahal, akses seperti dokter, puskesmas, klinik kesehatan,
hingga rumah sakit telah tersedia untuk memberikan pelayanan kesehatan
gigi dan mulut kepada masyarakat di sekitarnya. Hal tersebut dikatakan oleh Dr. Sri Susilawati, drg., M.Kes., dosen Fakultas Kedokteran Gigi Unpad saat Seminar Ilmiah “Sociodental Integrated Approach for Oral Health Status Improvement.
Pada tahun 2013, Dr. Susi bersama tim dari 11 departemen di FKG Unpad
telah melakukan penelitian terkait kondisi kesehatan gigi dan mulut
masyarakat di sekitar Rumah Sakit Gigi dan Mulut (RSGM) FKG Unpad. “Hasilnya ditemukan bahwa sebagian besar masyarakat sebatas memiliki
keinginan untuk memeriksakan kesehatan giginya. Namun, yang betul-betul
datang ternyata sangat rendah,” ujarnya.
Menggunakan pendekatan sociodental approach, sebuah pendekatan
untuk melihat permasalahan kebutuhan perawatan kesehatan gigi tidak
hanya dari aspek klinis, penelitian tersebut dilakukan kepada masyarakat
usia dewasa di sekitar RSGM Unpad. Hasilnya ditemukan, 98,7% masyarakat
membutuhkan perawatan gigi. Baru sebagian yang sudah sadar untuk
melakukan perawatan dengan datang ke dokter gigi, puskesmas, atau RSGM. Alasan masyarakat datang ke pelayanan kesehatan disebabkan oleh rasa
sakit gigi. Sekitar, 66,2% persen diantaranya disebabkan oleh gigi yang
berlubang. Namun, jumlah masyarakat yang datang baru sekiitar 35% saja,
65% masyarakat memilih untuk merawat dan mengobatinya sendiri.
Dari hasil kuesioner terhadap 108 orang di sekitar RSGM Unpad, ditemukan
bahwa angka prevalensi bebas karies gigi hanya 1,3% saja. Sisanya,
98,7% responden memiliki karies gigi.
Dengan demikian, pemerintah dan pihak terkait harus lebih aktif
mengomunikasikan pentingnya melakukan perawatan kesehatan gigi kepada
masyarakat. Saat ini, masih ada kesenjangan komunikasi antara petugas
kesehatan dengan masyarakat. Jika dilihat dari konteks sosial budaya, ada perbedaan persepsi
antara masyarakat dengan petugas kesehatan terkait kesehatan gigi dan
mulut.Menurut dosen Sastra Jerman Fakultas Ilmu Budaya Unpad, Dr. Phil.
(des) Dian Ekawati, M.A., persepsi “nyeri gigi” di mata masyarakat masih
terbilang ringan dan belum perlu melakukan perawatan.
Padahal, dalam istilah medis, nyeri gigi sudah termasuk ke dalam masalah gigi yang harus diobati.
“Istilah yang muncul di masyarakat ‘kan kalau pipinya belum bengkak
karena sakit gigi maka belum ke dokter gigi. ‘Sakit gigi’ dalam istilah
mereka biasanya identik dengan apabila sudah mengganggu aktivitas
sehari-hari,” ujar Dr. Dian yang melakukan penelitian mengenai konsep
“bersih”, “kotor”, “sehat”, dan “sakit” dalam masyarakat Sunda. Hal ini disebabkan struktur sosial budaya terkait kesehatan.
Masyarakat cenderung aktif bertanya kepada tetua/sesepuh ketimbang ke
dokter. Penyebab lainnya adalah terkait faktor sosial ekonomi, dan
faktor psikologis dimana dalam benak masyarakat, dukun atau paraji lebih
bernas ketimbang dokter ataupun petugas kesehatan.
Kesenjangan inilah yang harus segera dientaskan. Dr. Atwar Bajari,
M.Si., Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Unpad mengatakan, media
komunikasi menjadi penting untuk menjembatani kesenjangan tersebut.
Media elektronik seperti televisi dinilai lebih baik untuk
mengomunikasikan pentingnya kesehatan gigi dan mulut kepada masyarakat.
“Hal lain yang bisa dilakukan adalah petugas kesehatan dapat masuk ke
struktur tetua masyarakat, seperti sesepuh atau ulama. Sehingga, mereka
inilah yang akan mendorong masyarakat untuk lebih sadar akan kesehatan
giginya,” cetus Dr. Dian.