PENDAHULUAN
Filariasis (Kaki gajah) telah dikenal di Indonesia sejak Haga dan van Eecke melaporkan adanya suatu kasus scrotal elephantiasis pada tahun 1889. Sampai saat ini penyakit tersebut masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. Sampai tahun 2002 kurang lebih 10 juta penduduk sudah terinfeksi penyakit ini, dengan jumlah penderita kronis (elephantiasis) kurang lebih 6.500 orang. Vektor penyakit kaki gajah adalah nyamuk (Ditjen P2M&PL, 2002; Joesoef, 1985; Sudomo, 2005).
Filariasis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh cacing filaria yang ditularkan melalui berbagai jenis nyamuk. Terdapat tiga spesies cacing penyebab Filariasis yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori . Semua spesies tersebut terdapat di Indonesia, namun lebih dari 70% kasus filariasis di Indonesia disebabkan oleh Brugia malayi. Cacing tersebut hidup di kelenjar dan saluran getah bening sehingga menyebabkan kerusakan pada sistem limfatik yang dapat menimbulkan gejala akut dan kronis. Gejala akut berupa peradangan kelenjar dan saluran getah bening (adenolimfangitis) terutama di daerah pangkal paha dan ketiak tapi dapat pula di daerah lain. Gejala kronis terjadi akibat penyumbatan aliran limfe terutama di daerah yang sama dengan terjadinya peradangan dan menimbulkan gejala seperti kaki gajah (elephantiasis), dan hidrokel. Berdasarkan laporan dari kabupaten/kota, jumlah kasus kronis filariasis yang dilaporkan sampai tahun 2009 sudah sebanyak 11.914 kasus. Filariasis dapat ditularkan oleh seluruh jenis spesies nyamuk. Di Indonesia diperkirakan terdapat lebih dari 23 spesies vektor nyamuk penular filariasis yang terdiri dari genus Anopheles, Aedes, Culex, Mansonia, dan Armigeres. Untuk menimbulkan gejala klinis penyakit filariasis diperlukan beberapa kali gigitan nyamuk terinfeksi filaria dalam waktu yang lama. Filariasis menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia sesuai dengan resolusi World Health Assembly (WHA) pada tahun 1997. Program eleminasi filariasis di dunia dimulai berdasarkan deklarasi WHO tahun 2000. di Indonesia program eliminasi filariasis dimulai pada tahun 2002. Untuk mencapai eliminasi, di Indonesia ditetapkan dua pilar yang akan dilaksanakan yaitu Memutuskan rantai penularan dengan pemberian obat massal pencegahan filariasis (POMP filariasis) di daerah endemis, Mencegah dan membatasi kecacatan karena filariasis. Filariasis atau penyakit kaki gajah adalah penyakit zoonosis menular yang banyak ditemukan di wilayah tropika seluruh dunia. Penyebabnya adalah sekelompok cacing parasit nemtoda yang tergolong superfamilia Filarioidea yang menyebabkan infeksi sehingga berakibat munculnya edema. Gejala yang umum terlihat adalah terjadinya elefantiasis, berupa membesarnya tungkai bawah (kaki) dan kantung zakar (skrotum), sehingga penyakit ini secara awam dikenal sebagai penyakit kaki gajah. Walaupun demikian, gejala pembesaran ini tidak selalu disebabkan oleh filariasis.
Filariasis menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Dari tahun ke tahun jumlah provinsi yang melaporkan kasus filariasis terus bertambah. Bahkan di beberapa daerah mempunyai tingkat endemisitas yang cukup tinggi. Perkembangan jumlah penderita kasus filariasis tahun 2010 – 2015 semakin meningkat. Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam merupakan daerah tingkatan kedua yang memiliki kasus filariasis yang paling tinggi dengan jumlah penderita sebanyak 2.375 kasus, dari sebelumnya daerah Nusa Tenggara Timur yang merupakan tingkatan pertama.
Dari data Dinas Provinsi Aceh tahun 2018, jumlah kasus baru filariasis semakin meningkat, mencapai 584 kasus. Daerah yang memiliki kasus tertinggi adalah Aceh Utara sebanyak 101 kasus. Kasus filariasis ini semakin lama semakin meningkat dan butuh perhatian khusus dari pemerintah dan jajarannya, agar angka penyakit filariasis dapat diturunkan.
BAB II
PEMBAHASAN
Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi nematoda dari famili filariodea, dimana cacing dewasanya hidup dalam cairan dan saluran limfe, jaringan ikat di bawah kulit dan dalam rongga badan. Cacing dewasa betina mengeluarkan mikrofilaria yang dapat ditemukan dalam darah, hidrokel, kulit, sesuai dengan sifat masing-masing spesiesnya. ( Rempengan dan Laurentz, 1993)
Menurut Ditjen PPM & PLP Depkes RI, 2001, filariasis atau penyakit kaki gajah adalah penyakit menular yang disebabkan oleh cacing filaria, yang hidup dalam saluran dan kelenjar getah bening (limfe) yang dapat menyebabkan gejala akut dan kronis serta ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Gejala akut yang berulang dan gejala kronis yang menetap sangat menurunkan kwalitas sumber daya manusia serta produktifitas penderita karena tidak dapat bekerja secara optimal sehingga merugikan masyarakat dan negara terutama menjadi beban keluarga. Penyakit ini bersifat menahun dan bila tidak mendapat pengobatan dengan baik dapat menimbulkan cacat menetap berupa penbesaran kaki, lengan, payudara dan alat kelamin, baik laki-laki maupun perempuan. Penderita yang telah cacat biasanya akan merasa rendah diri (stigma) apalagi dengan adanya anggapan yang keliru dari masyarakat tentang penyakit filaria sebagai penyakit keturunan atau penyakit kutukan. Filariasis menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Dari tahun ke tahun jumlah provinsi yang melaporkan kasus filariasis terus bertambah. Bahkan di beberapa daerah mempunyai tingkat endemisitas yang cukup tinggi.
Perkembangan jumlah penderita kasus filariasis tahun 2010 – 2015 semakin meningkat. Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam merupakan daerah tingkatan kedua yang memiliki kasus filariasis yang paling tinggi dengan jumlah penderita sebanyak 2.375 kasus, dari sebelumnya daerah Nusa Tenggara Timur yang merupakan tingkatan pertama. Pada tahun 2018 data penderita filariasis meningkat sebanyak 584 kasus,yang tertinggi di kabupaten Aceh Utara sebanyak 101 kasus. 2.2. Epidemiologi 2.2.1. Penyebaran Distribusi dan prevalensi penyakit filariasis tampaknya meningkat dibanyak tempat di Afrika dan Asia. Infeksi wucheriria bancrofti endemis diantara garis 41° lintang utara dan 30° lintang selatan, terutama Afrika, Kepulauan Pasifik, Asia Tenggara, Korea Utara, India Barat, Amerika Tengah dan Dataran Pantai Timur Amerika Selatan. Infeksi Brugia Malayi jauh lebih terbatas distribusinya dan terdapat di India, Burma, Muangthai, Vietnam, Cina, Korea Selatan, Jepang, Malaysia, Indonesia, Brunei, Papua Nugini dan Filipina. Kini parasit tersebut sudah menghilang dari Srilanka. Infeksi Brugia Timori hanya ditemukan di Indonesia bagian timur. Saat ini penyakit filarial terdapat di 80 negara, dan menyerang 120 juta penduduk, 40 juta diantaranya menderita penyakit filariasis yang serius dengan infeksi kronis.
Di Indonesia jenis parasit filariasis mempunyai penyebaran yang berbeda-beda. Secara epidemiologi spesies cacing filaria di bedakan menjadi enam (6) tipe:
- Wucheriria bancrofti yang ditemukan di daerah perkotaan (urban) seperti Jakarta, Bekasi, Pekalongan dan sekitarnya, ditularkan oleh nyamuk culex quinquefasciatus yang berkembang di air kotor. Microfilaria ditemukan dalam darah tepi pada malam hari (periodisitas nokturna).
- Wucheriria bancrofti yang ditemukan didaerah pedesaan (rural) dengan endemitas tinggi diluar jawa terutama di Irian Jaya (Papua), mempunyai periodesitas nokturna dan ditularkan oleh genus anopheles, culex, dan aedes. Daerah dengan endemisitas tinggi ditemukan di Aceh, Sumatra Barat, Sulawesi Tengah,dan Nusa Tenggara Timur.
- Brugia Malayi ditemukan di daerah persawahan bersifat periodik nokturna dan ditularkan oleh nyamuk Anopheles barbitrosis.
- Brugia malayi ditemukan di rawa, bersifat subperiodik nokturna dan ditularkan oleh nyamuk mansonia.
- Brugia malayi ditemukan di daerah hutan bersifat non periodik, microfilaria ditemukan di daerah tepi baik siang maupun malam hari, ditularkan oleh nyamuk mansonia.
- Brugia timori yang bersifat periodik nokturna di daerah Nusa Tenggara Timur, Maluku Tenggara, dan mungkin juga didaerah lain, ditularkan oleh nyamuk anopheles barbitrosis.
Agen penyebab penyakit filariasis adalah cacing nematoda dari family filasodea yang berbentuk seperti benang, hidup berbelit satu sama lain dalam saluran limfe manusia.
Cacing tersebut terdiri atas:
- Wucheriria bancrofti Wucheriria bancrofti jantan berukuran 35 sampai 40 mm dengan diameter 0,1 mm dan cacing betina berukuran 80 mm sampai 100 mm dengan diameter 0,24 sampai 0,30 mm. Cacing wucheriria bancrofti dewasa tinggal dalam darah dan limfe. (Rempengan dan Laurentz, 1993). Pada manusia wucheriria bancrofti dapat hidup kira-kira lima tahun sesudah menembus kulit, melalui gigitan nyamuk larva meneruskan perjalanannya kepembuluh darah dan kelenjar limfe tempat mereka tumbuh sampai dewasa dalam waktu satu tahun. Microfilaria kemudian meninggalkan cacing induknya, menembus dinding pembuluh limfe menuju kepembuluh darah yang berdekatan atau terbawa aliran limfe kedalam aliran darah. (Herdiman T. Pohan, 2002, dalam hasiri 2005). Microfilaria setelah di warnai akan menunjukkan inti-inti dan berbagai alat dalam yang dapat dilihat mikroskop fase kontras. Penelitian baru dengan menggunakan pewarnaan khusus memperlihatkan kait-kait dan duri-duri dironggga kepala berbagai spesies microfilaria dan faring berbentuk benang yang berjalan dari ujung anterior ke innen-korper.
- Brugia malayi Brugia malayi serupa dengan wucheriria bancrofti tetapi mempunyai ukuran yang lebih kecil. Cacing brugia malayi betina berukuran 43–55 mm dengan diameter 130-170 mikrometer dan jantan dengan panjang 13-30 mm dengan diameter 70-80 mikrometer (Rempengan dan Laurent, 1993). Larva stadium III dapat dibedakan dari wucheriria bancrofti karena lebih kecil dan papil kaudal yang kurang menonjol. Cacing ini hidup dalam kelenjar dan saluran limfe, periodisitas nokturnal, bersarung, dan berbentuk khas tidak senyata wucheriria bancrofti. Dalam tubuh nyamuk tumbuh menjadi larva infektif dalam waktu 6 – 12 hari. 3) Brugia timori Cacing dewasa hidup dalam saluran dan kelenjar limfe. Mikrofilarianya menyerupai mikrofilaria brugia malayi, yaitu lekuk badannya pata-patah dan susunan intinya tidak teratur, perbedaannya terletak dalam hal:
- Panjang kepala sama dengan tiga kali lebar kepala.
- Ekornya mempunyai inti tambahan yang ukurannya lebih kecil dari pada inti-inti lainnya dan letaknya lebih berjauhan bila dibandingkan dengan inti tambahan brugia malayi.
- Sarungnya tidak mengambil warna pulasan giemza
- Ukurannya lebih panjang dari mikrofilaria brugia malayi, mikrofilaria bersifat nokturnal.
Untuk melengkapi siklus kehidupannya, cacing filaria memerlukan hospes sebagai media pertumbuhannya dan perkembangbiakan.
Hospes pada penyakit filariasis terdiri atas tiga yakni :
a. Hospes perantara : nyamuk
b. Hospes reservoir : kera dan kucing domestik
c. Hospes definitif : manusia
c. Lingkungan
Lingkungan penyakit filariasis mencakup:
- Lingkungan fisik Endemisitas penyakit filariasis tersebar luas didaerah dataran rendah dan daerah perbukitan yang rendah, banyak ditemukan didaerah pedesaan dan perkotaan seperti air limbah diperkotaan, air payau di daerah pantai, daerah rawa, daerah persawahan, daerah dekat hutan.
- Lingkungan biologis Lingkungan biologis penyakit filariasis mencakup manusia yang merupakan hospes defenitif, nyamuk yang merupakan hospes perantara, kera dan kucing domesik yang bertindak sebagai hospes perantara.
- Lingkungan sosial, ekonomi dan budaya Lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya merupakan lingkungan yang timbul akibat adanya interaksi antara manusia, termasuk diantaranya sosial ekonomi penduduk, perilaku penduduk, adat istiadat, tingkah laku, budaya suatu daerah, kebiasaan hidup penduduk, dan sebagainya.